Apa Itu Puisi Naratif? Syarat dan Contohnya
Balerumah.com – Puisi naratif ini berkaitan erat dengan puisi epik. Karena epik pun juga menggunakan bahasa yang naratif. Dapat dikatakan juga bahwa naratif itu jenisnya, sedangkan epik itu gaya bahasanya. Seperti namanya sendiri, naratif: yaitu bersifat narasi atau cerita. Jadi, puisi naratif adalah puisi yang disampaikan dalam bentuk cerita.
Dari mana awal mula puisi naratif?
Di Indonesia, puisi naratif sebenarnya adalah bentuk lain dari syair. Karena kalau kita lihat, syair itu “cerita” yang disampaikan dalam bentuk tetap. Pada masa sastra melayu klasik, sekitar abad ke-19, syair menjadi salah satu genre utama yang populer di Nusantara. Dalam perjalanannya, pengaruh syair menyebar luas ke berbagai daerah hingga kemudian beradaptasi dengan bahasa daerah masing-masing.
Mengapa syair?
Karena hikayat, meskipun berbentuk naratif, namun disusun secara prosais. Sedangkan syair, lebih leluasa menyampaikan berbagai macam tema ketibang pantun dan gurindam. Bahkan, dalam rangkaian bait yang cukup panjang.
Maka syarat puisi agar biisa disebut naratif adalah:
1. Bercerita tentang seseorang atau sesuatu
2. Memiliki latar yang jelas
3. Bisa menggunakan dialog
Puisi “Mata Luka Sengkon Karta” karya Peri Sandi Huizche termasuk salah satu puisi yang berbentuk epik-naratif. Karena di dalam puisi itu menceritakan tentang petani pada masa lampau. Dengan kata lain menceritakan sejarah. Hal yang menguatkan puisi itu berbentuk epik-naratif adalah karena di dalam puisi itu juga terdapat dialog.
Selain itu, masih banyak lagi puisi yang disebut naratif. Berikut contohnya:
Sajak Pertemuan Mahasiswa
Oleh: WS Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
Jakarta, 1 Desember 1977
Gamvar via: Pixabay
Dari mana awal mula puisi naratif?
Di Indonesia, puisi naratif sebenarnya adalah bentuk lain dari syair. Karena kalau kita lihat, syair itu “cerita” yang disampaikan dalam bentuk tetap. Pada masa sastra melayu klasik, sekitar abad ke-19, syair menjadi salah satu genre utama yang populer di Nusantara. Dalam perjalanannya, pengaruh syair menyebar luas ke berbagai daerah hingga kemudian beradaptasi dengan bahasa daerah masing-masing.
Mengapa syair?
Karena hikayat, meskipun berbentuk naratif, namun disusun secara prosais. Sedangkan syair, lebih leluasa menyampaikan berbagai macam tema ketibang pantun dan gurindam. Bahkan, dalam rangkaian bait yang cukup panjang.
Maka syarat puisi agar biisa disebut naratif adalah:
1. Bercerita tentang seseorang atau sesuatu
2. Memiliki latar yang jelas
3. Bisa menggunakan dialog
Puisi “Mata Luka Sengkon Karta” karya Peri Sandi Huizche termasuk salah satu puisi yang berbentuk epik-naratif. Karena di dalam puisi itu menceritakan tentang petani pada masa lampau. Dengan kata lain menceritakan sejarah. Hal yang menguatkan puisi itu berbentuk epik-naratif adalah karena di dalam puisi itu juga terdapat dialog.
Baca juga:
Selain itu, masih banyak lagi puisi yang disebut naratif. Berikut contohnya:
Sajak Pertemuan Mahasiswa
Oleh: WS Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
Jakarta, 1 Desember 1977