Penyebab Siswa Malas Belajar Ketika di Sekolah
Balerumah.com – Siapa yang suka mengeluh saat jam pelajaran kosong? Mungkin tidak ada. Mayoritas pelajar akan merasa senang apabila tidak ada Guru. Lamanya proses belajar kerap kali membikin siswa dan siswi jenuh. Padahal dalam hal menuntut ilmu, peserta didik tidak boleh keluh. Karena mereka bagaikan pengemudi, dan belajar adalah kendaraan untuk kita berlabuh. Menempuh, ilmu hingga jauh.
Sewaktu-waktu, kita pernah, atau mungkin sering tidur lelap di dalam kelas. Baik ada Guru, maupun tidak. Sudah seakan menjadi kebiasaan bagi orang tertentu. Mengapa hanya orang tertentu? Sebab biasanya yang tidur di kelas itu memang memang pelakunya hanya dia-dia juga.
Mengenai segala kasus yang ada di sekolah, mulai dari kedisiplinan waktu, cara belajar dan etika. Semua terangkum dalam tulisan ini. Kita sadar, bahwa kita hanya manusia biasa yang punya banyak kesalahan, apalagi dalam belajar. Pastinya membutuhkan perbaikan atau evaluasi terhadap diri sendiri.
1. Sering Tidur Larut Malam
Sudah tidak asing lagi, salah satu penyebab tidur di kelas adalah sering tidur larut malam. Tidur larut malam sekarang sudah menjadi kebiasaan bagi anak pelajar. Ada yang tidur larut malam untuk mengerjakan tugas, ada juga yang hanya main-main saja, bermain game, chatingan, atau membuang waktu dengan teman sampai lupa waktu.
Ada sisi positif dan negatifnya tidur larut malam ini. Salah satu contoh positif tidur larut malam yaitu dikarenakan mengerjakan tugas yang menumpuk. Saya salut dengan pelajar seperti ini. Kenapa? Karena jam mereka sudah termakan lebih-kurang 8 jam dalam sehari untuk menuntut ilmu. Sudah begitu, mereka harus pula mengerjakan tugas di rumah. Kebayang, kan?
Ya, boleh saja Guru membilang. 'Tidak ada alasan.' Karena kita tidak tahu seperti apa proses belajar si Guru itu dulu, sehingga diterapkannya kepada kita. Atau mungkin Guru tidak ingin melihat anak didiknya menjadi manusia gagal nantinya, semoga bukan kalian.
Kalau tadi positif, sekarang kita bahas negatifnya. Salah satu sisi ngatif tidur malam adalah hanya bermain. Sekali lagi saya katakan 'hanya' tanpa ada kegiatan yang berkaitan dalam pelajaran. Padahal, pelajar juga anak-anak yang butuh waktu main, tidak serta-merta bergelut dengan tugas. Tapi, dengan adanya batasan waktu bermain ini, kita bisa menghargai waktu ketika berkumpul bersama teman. Dan dari sinilah perlabuhan menghargai waktumu terbangun.
Terkadang, perlakuan Guru yang menurut sudut pandang kita terlalu kekang dalam tugas, dan terlalu posesif akan contekan, sehingga membuat mentalitas kita terbangun. Mungkin secara tidak langsung, itu adalah bentuk tataran kita dalam menghadapi derita. Belajar bagaimana menerima pahitnya bekerja, kemudian hari nanti.
Selain hanya bermain, ada pula yang berdiam diri di kamar sembari menyentuh layar gadged. Kebanyakan yang melakukan hal ini adalah wanita, atau lelaki yang sedang bermain game. Keduanya tak jarang membuat dirinya tidur larut malam, dan ketika hendak tidur, justru malah susah tidur. Inilah penyakitnya anak zaman sekarang, susah mengatur pola tidur. Dari kedua sisi antara positif dan negatif, masing-masing bisa kita ambil hikmahnya, atau sekurang-kurangnya kita—sadari sendiri.
2. Mudah Mengeluh
Menjadi pelajar sudah selayaknya menaati peraturan-peraturan yang ada di sekolah. Kadang kala, pelajar mengeluh akan akibat dari peraturan di sekolah. Sebagai contoh kecil telat sekolah, misalnya. Telat sekolah berkaitan dengan etika seorang pelajar terhadap sekolahnya, yang berkaitan pula dengan sudut pandang para Guru. Baik atau tidaknya moralitas peserta didik.
Sadar atau tidak, ketika berada di kantor, Guru sewaktu-waktu suka membicarakan perlakuan muridnya. Nah, dari sinilah kepribadian seorang pelajar dikenali para Guru. Mulai dari yang suka telat sekolah, sampai yang paling giat. Dari yang pemalas, sampai yang rajin, dari yang pendiam, sampai yang paling berisik.
Siswa mengeluh bukan hanya karena peraturan sekolah. Ada juga yang keluh akibat tugas menumpuk. Kau mungkin pernah merasa bosan dengan tugas sekolah yang diberikan Guru, tugasnya rumit, menguarkan biaya, waktunya mepet pula.
Selain itu, kita sekelompok dengan orang-orang yang tidak kita suka. Misalnya orang itu pemalas, banyak tingkah, nggak ada kebersamaanya. Membuat kita semakin malas. Terkadang kita sendiri juga tidak berkaca, kalau sebenarnya kita sendiri memang tidak pintar. Tapi dengan adanya orang malas, kita seakan-akan terlihat pintar, padahal tidak.
Ketika matahari condong ke arah barat, duduk mengendarai sepeda motor, berjalan di antara jalan raya yang terbentang panjang, menempuh perjalanan ke rumah. Rasanya, pulang tanpa seorang teman, kita juga merasa jenuh, dan membuat kita selalu mengeluh. Seperti kesepian ketika pulang sekolah, meskipun sudah masing-masing membawa kendaraan, tapi kalau tidak ada barengan juga membuat kita malas sekolah.
Tak jarang kita melihat seorang teman, ia malas sekolah hanya karna kesepian. Di kelas tidak ada yang menemani, entah karena apa, tapi menurutku kasihan juga. Sudah jauh-jauh sekolah, orang tuanya telah membiayai tapi ketika ia di kelas, dimusuhi oleh temannya. Nah yang seperti ini harus kita hindari.
Mengeluh juga berakibat malas. Bentuk rasa malas kita memang bermacam-macam. Ada yang suka menyendiri sambil membaca tulisan ini, merebah di atas kasur atau duduk bersandar pada kursi, ada juga yang suka mendengarkan lagu. Atau mungkin keduanya adalah anda sendiri? Ya, memang pada hakikatnya kita tak jauh berbeda.
Menurutku malas itu sesuatu yang wajar. Sebab bukan hanya pelajar yang merasakan malas, bahkan Guru pun juga bisa malas. Apabila salah satu merasa malas, maka semua pun malas. Kecuali bila mereka saling menyemangati, saling mengasihi, saling berbagi. Sering kulihat seorang Guru berbagi cerita tentang pengalaman hidupnya. Itu merupakan cara mengatasi rasa malas dan bosan bagi peserta didiknya. Sehingga, ketika suatu saat, kita kembali menunggu cerita lain dari Guru itu.
3. Sulit Memahami Penjelasan Guru
Di dalam semua pelajaran, peserta didik juga diminta untuk belajar mengenai pentingnya kejujuran, kedisiplinan, manajemen waktu, komitmen dan kerja keras. Ini semua harus bisa dipahami dari penjelasan seorang Guru, sehingga peserta didik dapat mencernanya dengan tepat dan diterapkanya dalam keseharian.
Sebagai peserta didik, terkadang sulit memahami penjelasan Guru. Akibat dari kesulitan ini, peserta didik kedisiplinannya menjadi berkurang. Faktanya, banyak peserta didik yang berbicara ketika Guru sedang menerangkan di depan. Dan bahkan, ada yang membuka gadged di kolong meja ketika pelajaran berlangsung. Maka dari sinilah, peraturan dibuat dengan tujuan untuk menjembatani etika antara peserta didik dan Guru.
Peraturan dibuat untuk menghindari masalah. Kalau kamu terkena masalah, itu berarti kamu telah melanggar peraturan. Baik peraturan sekolah, etika, juga cara hidup. Maka dengan demikian. Kita harus menjaga kedisiplinan tanpa perlu sekolah membuat mata pelajaran baru bernama ‘etika’ ataupun ‘moral.’ Karena peserta didik sudah kewalahan dengan mata pelajarannya. Dengan cara ini, sepantasnya kita menghargai satu sama lain, menghargai tugas masing-masing. Guru mengajari murid, murid mencerna Guru.
Akan lebih seru kalau belajar bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah Guru. Sembari mencerna kehidupan di rumahnya, melihat pajangan piala yang berjejer di ruang tamunya, melihat tanaman yang berlamunan di teras rumahnya, dan melihat segelas teh manis untuk kita yang datang sebagai tamu. Seru juga kan? Memang seharusnya seperti itu, kita datang bukan sekedar mampir, tapi juga menanyakan pelajaran yang di sekolah tidak kita ketahui, tidak kita pahami.
Mungkin sebagian Guru akan menolak kita datang ke rumahnya, lantaran dia memang orang sibuk, atau mungkin orang yang tertutup. Tidak apa, kita bisa menanyakan pelajaran di kantor saat dirinya sedang tidak sibuk. Boleh saja, asalkan tidak mengganggu pekerjaannya di kantor. Tapi kalau di kantor, ya kita tidak dapat segelas teh manis.
4. Masalah Keluarga
Kita hidup di dalam keluarga, pastinya ada saja masalah yang membuat kita menjadi malas, mudah marah, mudah tersinggung, dan apatis terhadap omongan orang lain. Termasuk saat Guru menerangkan pelajaran di depan. Perlu kita ketahui bahwa sekolah telah memiliki Guru pembimbing atau konseling, Guru ini bertugas bukan hanya untuk membimbing dalam pelajaran, tapi juga dalam hal sosial dan kepribadian. Memotivasi peserta didik, memberikan arahan, dan sebagai tempat menceritakan keluh dirinya.
Tidak semua orang hidupnya baik-baik saja. Toh, saat dia mulai lemah akan membawa dirinya dalam kegelapan. Yang perlu kita waspadai adalah, bagaimana cara kita menyikapi itu semua? Sederhananya ialah memiliki teman bicara, bukan kemewahan, bukan pujian orang, apalagi penampilan. Kita perlu mengubah pola pikir kita menjadi sederhana dengan kesadaran. Sadar bahwa kita hanya manusia biasa, bahwa kita hidup numpang dengan orang tua, bahwa kita harus mengabdi padanya.
5. Kurangnya Waktu Bersama Keluarga
Setelah seharian penuh peserta didik di sekolah, pastinya sangat melelahkan dan butuh waktu bersama keluarga, dan juga teman. Kadang, waktu luang kita di rumah hanya untuk mengerjakan tugas, dan hanya tugas. Sulit sekali mencari waktu untuk bercengkrama
dengan orang-orang disekitar kita.
Perlu diketahui bahwa peserta didik juga anak-anak yang butuh waktu main, butuh keleluasaan waktu bersama orang-orang sekitar. Tapi, semenjak mereka fullday school, waktu itu menjadi seakan sangat sempit. Positifnya, mereka menjadi sangat menghargai waktu luang.
6. Proses Belajar
Sekolah adalah rumah, Guru adalah orang tua di sekolah. Lalu PR (Pekerjaan Rumah)
apakah boleh dikerjakan juga di sekolah? Tidak. Itu adalah tugas, dan itu harus dikerjakan di
rumah. Ada salahnya juga kalau kita bilang sekolah adalah rumah, karna, peserta didik pun tak boleh megerjakan PR di sana. Jadi, ada baiknya kalau mesebut sekolah adalah tempat mencari ilmu. Tempat dididik untuk menghargai waktu, agar tidak kaget ketika
lulus nanti, masuk ke dunia kerja yang kita tidak tahu bagaimana dan apa itu manajemen
waktu.
Lebih kurang delapan jam peserta didik di sekolah, ialah waktu yang efisien dalam belajar, dari pada kita bermain dengan teman hingga waktu yang digunakan tidak kentara untuk melukis masa depan. Sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, kalau peserta didik juga
anak-anak yang butuh waktu bermain.
Tapi, untuk menjadi seekor kupu-kupu, kamu harus menjadi ulat terlebih dahulu, bukan? Berjalan ke sana-ke sini melintasi daun, batang, ranting berhari-hari hingga pada waktunya, kau berubah menjadi kepongpong untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Begitulah proses sebenarnya.