Mengenal Puisi Elegi: Pengertian, Ciri-ciri, Beserta Contohnya
Balerumah.com – Puisi elegi ini adalah puisi yang paling banyak beredar. Banyak orang-orang melihat, membaca puisi, dan bahkan menuliskannya, namun jarang sekali orang mengenal jenis puisi. Padahal, itu sangat penting untuk jalan kepenyairan. Pada kali ini, kita akan mengenal jenis puisi, yaitu puisi elegi.
Puisi elegi merupakan jenis puisi yang berisi tentang kesedihan atau renungan. Elegi biasanya mengungkapkan perasaan sedih, akibat kerinduan, perpisahan, atau bahkan kematian.
Menurut KBBI, elegi adalah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian.) Dari pengertian ini, mungkin anda sudah punya gambaran tentang apa itu elegi.
Terkadang, kata elegi sudah dicantumkan pada judul puisi. Seperti misalnya: Elegi Bangau, Elegi Malam, Elegi Bulan. Namun, tak sering pula kita melihat dalam bentuk judul yang bukan demikian, seperti: Kesaksian Khir Abad, Senja di Pelabuhan Kecil, Hampa.
Ciri-ciri Puisi Elegi
Setelah anda memahami isitilah elegi, maka inilah ciri-cirinya.
1. Berisikan sajak ataupun lagu
2. Berisi tentang kesedihan, dukacita .
Contoh Puisi Elegi
Setiap penyair, memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan perasaan sedihnya. Silahkan baca 3 contoh puisi di bawah ini.
Senja di Pelabuhan Kecil
Karya: Chairil Anwar
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah, air tidur, hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Elegi
Karya: Joko Pinurbo
Maukah kau menemaniku makan?
Makan dengan piring yang retak
dan sendok yang patah. Makan,
menghabiskan hatiku yang pecah.
Itulah makan malam terakhirnya
di surga kecilnya yang suram.
Besok ia sudah terusir kalah
dan harus pergi menuju entah.
Lalu mereka berfoto bersama
sementara mobil patrol berjaga-jaga
di ujung sana. Lalu hujan datang
memadamkan api di matanya.
Ia akan merindukan rumahnya
dan akan sering menengoknya
lewat mesin pencari kenangan
sebelum malam menelan mimpinya.
2016
Kesaksian Akhir Abad
Karya: WS Rendra
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor
Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
Mempersekutukan budaya tanah dan air!
O, Resi Kuturan!O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera,
yang dijagaoleh sewan huku adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari bangsaku ini?
O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-piuing tanaman hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasat mata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berhak dan berdarah
di atas bendera kebangsaan.
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
Bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukun yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
31 Desember 1999, Candu Ceto
6 November 2000 Balikpapan
***
Dari keriga puisi di atas, punya kekuatan eleginya masing-masing. Misalnya pada puisi Chairil Anwar. Kita ambil potongan puisinya pada bait terakhir.
“Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung,”
Coba bayangkan. Sendiri, berjalan menisir semenanjung. Ini menggambarkan rasa kesepian yang mendalam. Dan dalam puisi ini, apakah Chairil kehilangan sosok Sri Ayati? Mungkin saja. Silahkan anda tafsir sendiri. Intinya, pada puisi elegi mengandung kesedihan.
Dan, bagaimana jika puisi elegi berbentuk balada? Hal itu tergantung pada kekuatan puisinya, lebih mengarah ke jenisn mana. Kalau ingin mengatakan puisi balada, intinya harus ada tokoh yang diceritakan.
Baca juga: Cara Membaca Puisi yang Benar dan Indah Sesuai Teori
Demikianlah ulasan dari Bale Rumah, semoga dengan artikel ini menjadikan anda bersungguh-sungguh dalam mempelajari puisi. Apabila artikel ini bermanfaat, silahkan bagikan.
Via: pixabay
Apa itu Puisi Elegi?Puisi elegi merupakan jenis puisi yang berisi tentang kesedihan atau renungan. Elegi biasanya mengungkapkan perasaan sedih, akibat kerinduan, perpisahan, atau bahkan kematian.
Menurut KBBI, elegi adalah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian.) Dari pengertian ini, mungkin anda sudah punya gambaran tentang apa itu elegi.
Terkadang, kata elegi sudah dicantumkan pada judul puisi. Seperti misalnya: Elegi Bangau, Elegi Malam, Elegi Bulan. Namun, tak sering pula kita melihat dalam bentuk judul yang bukan demikian, seperti: Kesaksian Khir Abad, Senja di Pelabuhan Kecil, Hampa.
Ciri-ciri Puisi Elegi
Setelah anda memahami isitilah elegi, maka inilah ciri-cirinya.
1. Berisikan sajak ataupun lagu
2. Berisi tentang kesedihan, dukacita .
Contoh Puisi Elegi
Setiap penyair, memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan perasaan sedihnya. Silahkan baca 3 contoh puisi di bawah ini.
Senja di Pelabuhan Kecil
Karya: Chairil Anwar
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah, air tidur, hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Elegi
Karya: Joko Pinurbo
Maukah kau menemaniku makan?
Makan dengan piring yang retak
dan sendok yang patah. Makan,
menghabiskan hatiku yang pecah.
Itulah makan malam terakhirnya
di surga kecilnya yang suram.
Besok ia sudah terusir kalah
dan harus pergi menuju entah.
Lalu mereka berfoto bersama
sementara mobil patrol berjaga-jaga
di ujung sana. Lalu hujan datang
memadamkan api di matanya.
Ia akan merindukan rumahnya
dan akan sering menengoknya
lewat mesin pencari kenangan
sebelum malam menelan mimpinya.
2016
Kesaksian Akhir Abad
Karya: WS Rendra
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor
Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
Mempersekutukan budaya tanah dan air!
O, Resi Kuturan!O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera,
yang dijagaoleh sewan huku adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari bangsaku ini?
O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-piuing tanaman hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasat mata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berhak dan berdarah
di atas bendera kebangsaan.
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
Bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukun yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
31 Desember 1999, Candu Ceto
6 November 2000 Balikpapan
***
Dari keriga puisi di atas, punya kekuatan eleginya masing-masing. Misalnya pada puisi Chairil Anwar. Kita ambil potongan puisinya pada bait terakhir.
“Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung,”
Coba bayangkan. Sendiri, berjalan menisir semenanjung. Ini menggambarkan rasa kesepian yang mendalam. Dan dalam puisi ini, apakah Chairil kehilangan sosok Sri Ayati? Mungkin saja. Silahkan anda tafsir sendiri. Intinya, pada puisi elegi mengandung kesedihan.
Dan, bagaimana jika puisi elegi berbentuk balada? Hal itu tergantung pada kekuatan puisinya, lebih mengarah ke jenisn mana. Kalau ingin mengatakan puisi balada, intinya harus ada tokoh yang diceritakan.
Baca juga: Cara Membaca Puisi yang Benar dan Indah Sesuai Teori
Demikianlah ulasan dari Bale Rumah, semoga dengan artikel ini menjadikan anda bersungguh-sungguh dalam mempelajari puisi. Apabila artikel ini bermanfaat, silahkan bagikan.